Review Pena Kampus 2020 (19 April 2020) Mengeksplorasi Tema dan Membuat Premis

Salam Pena! apa kabar kawan-kawan? kali ini kita akan melanjutkan mereview materi-materi yang disajikan dalam kegiatan Pena Kampus 2020. Pada materi kedua ini, akan diisi oleh mentor kita seorang cerpenis sekaligus Pengurus Wilayah FLP Jawa Barat. Sebut saja kang Agi Eka Arli bagi kawan-kawan FLP Jawa Barat tentu sudah tidak aneh dengan tokoh yang satu ini, selain itu aktivitas beliau di dunia literasi tergolong sangat padat sekali, jadi kita sangat beruntung bisa di mentorin langsung oleh kang Agi. Bagi kawan-kawan yang mau kepoin beliau bisa follow akun instagramnya yaitu @agi_eka. 


Pada pertemuan kedua ini, materi yang disajikan adalah Mengeksplorasi Tema dan Membuat Premis. Materi ini dipilih, karena merupakan materi dasar dalam membuat karya tulis fiksi khususnya dalam membuat cerita pendek. Berikut penyampaian materi yang dilakukan melalui WAG Pena Kampus 2020. 

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum w.w. Halo, semuanya. Selamat malam dan salam kenal, ya, sebelumnya :)
Senang sekali bisa bertemu dan bersilaturahmi dengan teman-teman pada malam hari ini. Perkenalkan sebelumnya, nama saya M. Ginanjar Eka Arli, tapi biasa dipanggil kang Agi. Lahir di Cianjur, besar di Lampung, dan sejak tahun 2011 berkuliah dan beraktivitas di Bandung sampai hari ini :)

Saya dengar, di grup ini akan ada proyek menulis cerpen juga, ya?
Karena itu, insya Allah pada malam hari ini kita akan sama-sama belajar seputar mengeksplorasi tema dan membuat premis dulu :). Dengan harapan, materi dasar ini ke depannya bisa teman-teman gunakan untuk menulis apa pun. Termasuk, dalam hal ini prosa berupa cerita pendek (cerpen).
Pertama-tama, saya mau cerita dulu pengalaman saya selama menjadi juri lomba menulis cerpen sejak tahun 2014. Selama enam tahun saya membaca karya yang masuk di setiap lomba, ada dua pertanyaan besar yang selalu bersarang dalam benak saya:
1) Mengapa peserta lomba menulis cerpen tidak terlalu banyak?
2) Kenapa karya yang masuk biasanya "begitu-begitu aja"?
Saya perhatikan, untuk masalah peserta yang sedikit mungkin alasannya bisa jadi karena kurangnya publikasi. Namun, untuk perihal karya yang kurang spesial, tentu saja permasalahannya ada pada si penulis itu sendiri. Coba kita renungkan sama-sama bersama semua anggota di grup ini."Apa, sih, yang membuat suatu karya spesial?"

Dari berbagai seminar yang saya ikuti, sharing dari para penulis, dan juga karya-karya yang saya baca. Setidaknya, ada satu hal yang bisa saya simpulkan, yakni "Sudut Pandang yang Spesial".
Kita ambil sedikit contoh, ya.
Misalnya, ketika teman-teman diberikan tantangan menulis cerpen dengan tema "Hijrah", kira-kira kisah apa yang akan teman-teman pilih?

Nyaris semua peserta yang saya nilai ketika diberi tema Hijrah, semua menuliskan kisah seorang perempuan yang awalnya "nakal", lalu bertemu dengan seorang "ustadzah", menerima beberapa kalimat "tausyiah", hingga keesokan harinya ia bertaubat dan langsung mengenakan jilbab panjang yang menutupi seluruh badannya.

Apakah hal tersebut spesial?
Menurut saya tidak juga. Sebab, kisah tersebut tampak terlalu dipaksakan.
Coba teman-teman bayangkan. Ketika ada orang yang bertemu dengan kita (sealim apa pun dia), memberikan tausyiah, lalu menyuruh kita bertaubat dan hijrah.
Apakah kita akan langsung menerimanya begitu saja?
Apakah keluarga kita tidak akan terkejut?
Apakah lantas lingkungan kita menurut?

Para guru lantas mengapresiasi, memberikan nilai tertinggi, lulus sekolah masuk universitas negeri, lalu menikah dan hidup bahagia selamanya?
Saya banyak menemui kasus seperti ini. Dan ada satu masalah yang terlewat di sana: "Ceritanya terlampau panjang dan kurang realistis."
Kita kembali lagi pada definisi cerpen.
Pada dasarnya, untuk kasus cerpen lomba atau sayembara tertentu, cerita pendek yang dimaksud umumnya merupakan kisah yang dituangkan dalam 3-8 halaman dan memuat konflik yang terbatas. Artinya, berikan satu masalah pada tokoh, siapkan ruang untuk dia menyelesaikannya, dan kemudian tuliskan. Untuk itulah, kemudian kita memerlukan dua hal, yakni dari segi eksplorasi tema sampai membuat premis. Mari kita bahas satu-satu.

Di luar teknik kepenulisan, salah satu yang jadi penilaian terbesar dari juri lomba menulis cerpen (sampai redaktur koran) ketika menerima naskah, yaitu sudut pandang yang diambil oleh penulisnya. Sudut pandang di sini merupakan angle masalah yang akan kita ambil. Misalnya, ketika kampus menerapkan sistem SFH di tengah pandemi seperti ini, tentu saja ada banyak pihak yang terdampak, kan?

Yang paling terlihat mungkin mahasiswa dan dosen yang terpaksa harus SFH (Study From Home).
Namun di luar itu, adalah pihak lain yang terdampak?
Sebut saja misalnya para pedagang cilok yang ada di sekeliling kampus.
Ketika mahasiswa tidak ada, bagaimana nasib mereka? Anak-anaknya? Hidup keluarga? Teman-teman bisa baca salah satu cerpen Ahmad Tohari yang dimuat di Koran Kompas. Menurut saya, cara beliau menyampaikan sudut pandang dari rakyat pinggiran sangat terwakili dalam cerpen ini. Dan detail-detailnya menjadi salah satu daya tarik utama hingga ia menjadi cerpen terbaik yang pernah dimuat Kompas di tahun 2015.

Kita tak perlu susah-susah membayangkan pemerintah yang pusing mengambil kebijakan di gedung putih sana. Cukup lihat keadaan sekeliling rumah kita yang juga bertembok putih. Bukankah ada banyak kejadian kecil yang sering luput untuk kita lihat?

Lihat ke samping. Bagaimana rasanya menjadi pohon sebagai saksi para mahasiswa yang berkumpul sambil mengerjakan tugas, tempat beristirahat tukang cuangki sebelum melanjutkan perjalanan, hingga burung2 yang hinggap dan bersarang di batang-batangnya?

Lihat agak jauh. Bagaimana rasanya jadi tukang sapu yang terganggu oleh lalu lalang mahasiswa yang tidak pernah melihat sosok kehadirannya, justru malah mengganggu pekerjaannya membersihkan lorong-lorong kampus?

Bahkan dulu ada cerita dari senior FLP yang membuat cerpen seputar percakapan pulpen dan handphone di saku seorang koruptor.

Artinya apa? Ada banyak eksplorasi ide yang sebetulnya sangat bisa kita kembangkan. Namun, kita saja yang kurang peka dan belum mau menajamkan indera untuk melihat hal-hal yang sering kali luput dari pandangan mata. Karena itu, ketika sudah menemukan sudut pandang spesial dari cerita kita, maka langkah selanjutnya yang bisa kita lakukan adalah membuat premis

Premis di sini bisa diartikan sebagai kalimat yang menggambarkan ide utama dari cerita kita.


Misalnya, apa premis Malin Kundang?

Cerita anak durhaka yang melawan orang tua dan dikutuk menjadi batu.

Apa premis Naruto?

Tentang seorang Ninja yang ingin menjadi Hokage.

Kira-kira, sudah sedikit tergambar jelas makna premis di sini? Dalam kasus lain, ada juga beberapa orang yang merumuskan premis sebagai berikut.

Premis = (Tokoh Utama) yang (Ingin Sesuatu), tapi (Terhalang Sesuatu)

Tokoh utama kita di sana adalah karakter.

Keinginannya merupakan ending.

Sementara halangan adalah konflik

Lebih lanjut, nanti teman-teman bisa dengarkan juga materi dari Kang Hendra Veejay seputar membuat premis, ya :)


Premis akan sangat berguna terutama ketika teman-teman butuh "promosi" atau ingin menawarkan cerita kalian dalam waktu singkat kepada produser atau orang baru. Dari premis yang menarik, umumnya bisa menjadi daya jual yang tinggi ketika kita ingin mengembangkannya menjadi cerpen, novel, sampai skenario film.

Selanjutnya kita Diskusi

Pertanyaan
Kang izin bertanya. Nama saya mia

Tadi kan akang bahas perihal Sesuatu yang dipaksakan dibagian menulis bertemakan hijrah.
Biasanya saya temui para Penerbit selalu mengadakan Lomba Cerpen perihal Hijrah yang Jumlah katanya dibatasi. Solusinya bagaimana ya kang? Sebab itu jelas bertolak belakang dengan yang telah akang sampaikan  

Jawaban 
Halo, Teh Mia. Salam kenal ya sebelumnya :)

Maksudku, yang terlalu dipaksakan itu adalah plot dan endingnya.

Coba bayangkan. Dalam 8 halaman, kenapa kita harus jauh2 memaksakan untuk menunjukkan karakter kita berubah, bahkan sampai menikah?

Kunci dalam cerpen itu adalah efektivitas. Kalaupun mau mengambil tema hijrah dengan konflik perempuan yang awalnya "nakal" (misalkan cheerleader, atau semacamnya) lalu mau kita buat dia hijrah, maka kita bisa aja langsung masuk ke konflik.

Timeline-nya kita bisa ambil setelah si kapten cheerleader ini bertemu dengan ustadzah. Misalkan, openingnya gini.

"Entah kenapa, kata-kata sang Ustadzah Mia terngiang-ngiang terus di kepalaku."

Aku meremas rok yang panjangnya tak sampai dengkulku dengan gemas. Dulu aku selalu bangga memakai rok ini sampai lomba cheerleaders tingkat nasional. Tapi sekarang, setelah kalimat yang baru saja kudengar, rasanya semua sudah tak lagi sama.

Oh, Tuhan. Apakah jalan yang selama ini kupilih memang salah di mata-Mu?

Dst.

Jadi, kalau kita lihat, konflik utamanya apa?

Lebih ke pergolakan batin dari sang karakter utama. Artinya, endingnya simpel aja: Apakah dia akan menerima kalimat dari sang Ustadzah, apakah dia akan berubah, atau tetap pada pendiriannya?

Dan enggak perlu dijelaskan detail pun enggak masalah. Cukup ending menggantung juga enggak masalah.

Lebih lanjut nanti kita bahas lagi di bab teknik kepenulisannya, sih.

Tapi buat premis dan sudut pandang, aku pikir pembatasan masalah itu penting.

Apakah itu seputar konflik batinnya aja, pandangan sekeliling tentang orang yang baru hijrah (bisa kita buat karakternya baru pakai hijab, dan nanti orang2 di sekitarnya kayak kaget dan bilang sok alim, dsb), atau semacamnya.

Jadi gak perlu kita buat sampai dia nikah dengan ustadz, lulus kuliah cumlaude, kerja di luar negeri, dan sebagainya. Hanya dalam beberapa paragraf di ending cerita cuma untuk menunjukkan kalau efek dia hijrah bisa membawa dia ke mana2. Udah beda topik dan konflik lagi soalnya.

Maksud aku gitu, sih ;) 

Pertanyaan
Nama : Tini Rohayatini
Salam kenal kang Agi, Izin bertanya, pengalaman saya ketika menulis di media sosial, hampir semua pembaca menyukai bahasa dan alur cerita yang mudah mereka fahami, tapi kita sebagai penulis kadang mempunyai ego, dimana dalam cerita bersambung menambah kan alur yang kadang membuat kita susah sendiri mencari cerita sambungan yang pas, nah bagaimana trik dan tipsnya untuk menjadikan cerita bersambung selalu menarik.
Hatur nuhun  

Jawaban
Halo, Teh Tini. Salam kenal juga, yaa. 😄

Untuk cerbung atau cerita bersambung, saya pikir gini, sih. Kunci utama yang membuat alur cerita kita kuat ada dua:
1) Menentukan ending terlebih dahulu
2) Menguatkan karakternya

Kalau misalkan endingnya kita udah tahu (artinya di tahap sinopsis udah selesai kita buat dari awal sampai akhir), biasanya kita akan mudah memecah suatu cerita menjadi beberapa bagian tertentu.

Tapi, kalau misalkan Teteh adalah tipe yang nulis karena mengalir, maka tips dari guru menulis saya: kuatkan karakternya.

Saat karakter cerita kita kuat, mau ada masalah apa pun, maka yang kita dengarkan bukan ego atau keinginan kita, tapi suara hati sang tokoh.

Misalnya. Kalau karakter kita adalah tipe yang rada tomboy dan gak suka digombalin. Maka ketika ada cowok se-sweet apa pun dateng, pasti respons karakter tersebut bukan tersipu malu, melainkan noyor si cowok sambil bilang, "Apa, sih?!"

Atau hal-hal semacam itu lah. Hehe

Jadi, untuk membuat potongan ceritanya menarik, bikin sebanyak mungkin supaya konflik tiap ceritanya jelas dan selipkan hal2 yang related dengan pembaca.

Kupikir dua hal itu, sih. Sisanya banyak2 baca dan ATM aja cerita yang diawali dari majalah kayak Balada si Roy dan sebagainya ;)  

Saran saya, coba deh baca bukunya Teh Ary Nilandari. Ada di wattpad dan udah terbit juga di Pastel Books. Beliau salah satu contoh penulis yang bikin cerita bersambung ngalir sesuai keinginan tokohnya. Bisa Teteh coba pelajari karakter dari setiap novel yang beliau buat ;) 

Pertanyaan
Kang izin bertanya.
Apakah setiap cerpen harus memiliki premis?

Jawaban
Hmm ... jadi gini.

Premis itu lebih kayak "kompas". Supaya cerita kita gak ngalor ngidul.

Meskipun bukan premis lengkap, dan boleh jadi redaksinya nanti bakal sedikit2 berubah selagi berjalan, tapi yang jelas kita tahu cerita ini mau ngomongin tentang apa.

Kupikir, pada dasarnya setiap cerita pasti punya premis, kok. Cuma, redaksinya bisa sedikit berbeda2. Enggak mesti sesuai rumus di atas tok. Karena ada beberapa cerita yang premisnya itu terdiri dari 2-3 kalimat, enggak cuma satu.

Jadi kesimpulanku? Setiap cerita pasti punya premis. Dan itu yang selalu kucoba angkat dari setiap resensiku, baik di IG maupun YouTube. 😇 hehe  

Tanggapan
Siap Faham kang. Kang, gimana cara menguatkan karakter yang kita buat... kadang di pertengahan jalan suka ada yang menghambat, seperti karakter kedua yang tiba-tiba kita lebih suka untuk menjadikannya karakter pertama. Atau peran yang kita tulis ngak kuat.

Jawaban Tanggapan
Hmm ... Sebetulnya perihal karakter nanti bakal kita bahas pekan depan, sih. 🤭😆 Tapi gambarannya, ada hubungan dengan premis tadi. "Karakter Utama" ini adalah orang yang "Punya Tujuan"

Kuncinya di sini: Punya Tujuan.

Enggak masalah apakah dia baik atau jahat, selama dua punya tujuan berarti dia jadi karakter utama alias "protagonis". Kayak perampok. Mungkin tujuannya adalah merampok bank. Buat apa? Untuk mendapat duit biaya pengobatan anaknya.

Apakah caranya salah? Iya, di mata hukum. Tapi tujuannya "baik", lho?

Nah, kita bisa masukin banyak kritik sosial juga untuk memakai karakter anti-hero kayak gini.

Jadi, kalau karakter utama kita kurang kuat, bisa jadi tujuannya juga belum jelas. Yang imbasnya nanti ke konflik.  

Pertanyaan
Kak saya Centia, Apa setiap premis itu bisa terbaca dari kita melihat sinopsis?

Jawaban
Harusnya iya. Karena dia kayak jadi benang merah dari keseluruhan cerita :)

Makanya kalau teman2 mau masukin naskah ke penerbit, umumnya kita bisa siapin premis dan sinopsis cerita kita juga. Tujuannya buat memudahkan penerbit juga menyeleksi naskah kita. Sebab, naskah yang baik dan menarik pasti kelihatan potensinya dari premis dan sinopsis :)

Pertanyaan
Assalamualaikum, Kang Agi, perkenalkan saya Ikal. Berhubung nyambung dikit juga sama sinopsis nanti, nah apa di sinopsis (umpamanya mau ngirim ke redaksi) itu harus sedetail mungkin atau enggk? Terima kasih.

Jawaban
Waalaikumussalam, Kal. Halo, salam kenal kembali. 🙆‍♂️

Untuk kasus penerbit (termasuk kalau ditanya editor), sinopsis memang harus dijelaskan secara tuntas dan lugas. Enggak boleh ada yang ditutup-turupin atau dikode-kodein. Sebab, kalau penerbit enggak punya waktu membaca naskah kita, pasti seleksi pertamanya dari premis dan sinopsis aja ;)

Btw, bedakan antara sinopsis dan blurb, ya. Sinopsis itu ringkasan cerita kita dari awal sampai akhir.

Blurb itu tulisan yang ada di bagian belakang buku. Bisa cuplikan ceritanya, potongan adegan, percakapan, quotes, testimoni, dan lain sebagainya ;)

Dan buat sinopsis untuk dikirim ke penerbit, setidaknya cukup 2-3 halaman A4 aja. Insya Allah udah cukup mewakili, kok ;)

Jadi, step redaktur nilai naskah biasanya gini.
1) Baca premis dan sinopsis
2) Baca bab 1, 2
3) Baca sembarang bab di tengah dan akhir
4) Kalau menarik, baru baca lagi dari awal.

Gitu tipsnya. Makanya, nanti penting banget buat selfediting, bikin kalimat pembuka yang menyentak, dan ending yang pas buat ceritanya.

Oke, kali ini cukup sampai disini reviewnya, dan pada materi tersebut peserta diberi tugas untuk membuat sebuah premis. Wah asyik banget bukan? 


EmoticonEmoticon